BASYARNAS
Untuk memenuhi mata kuliah
“Lembaga Keuangan Syariah Non Lembaga keuangan”
Dosen Pembimbing:
Sri Wigati
Oleh :
Fitri Virdiany (C04209051)
Viki Wihdatul Ummah (C04209089)
Atikah (C74209110)
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kaum
muslimin telah mengenal dan melaksanakan arbitrase (lembaga hakam) sebagai
pranata sosial semenjak awal kehadiran Islam. Arbitrase syariah sebagai khazanah
fiqhiyah kini diaktualisasikan dalam sebuah lembaga hakam yang bernama Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Arbitrase
syariah sangat penting perannya mengiringi perkembangan ekonomi syariah. Dalam
kegiatan perekonomian syariah yang semakin meningkat dewasa ini, kemungkinan
terjadi dispute – sengketa atau perselisihan juga semakin besar. Kesadaran
beragama ummat Islam, semoga telah membawa ummat untuk melakukan segenap
aktivitas hidup dan kehidupannya berdasarkan syariah. Kesadaran beragama ummat
Islam, semoga telah berbuah : semua hubungan muamalat, hubungan perdata,
hubungan dagang, transaksi bisnis di kalangan ummat dilaksanakan berdasarkan syariah.
Kesadaran beragama ummat Islam- semoga telah berbuah : semua dispute (sengketa
atau perselisihan) di kalangan ummat, tak terbatas pada hubungan lembaga
keuangan dan lembaga keuangan lainnya dengan nasabah, melainkan semua sengketa
dalam seluruh bidang kehidupan – diselesaikan berdasarkan syariah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian basyarnas?
2.
Bagaimana sejarah basyarnas di
Indonesia?
3.
Apa saja kewenangan basyarnas?
4.
Apa saja keunggulan dan kelemahan
basyarnas?
5.
Apa dasar hukum basyarnas?
6.
Bagaimana mekanisme operasional
basyarnas?
7.
Apa contoh perkara yang dapat
diselesaikan oleh basyarnas?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian basyarnas
2.
Untuk mengetahui sejarah basyarnas di
Indonesia
3.
Untuk mengetahui kewenangan basyarnas
4.
Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan
basyarnas
5.
Untuk mengetahui dasar hukum basyarnas
6.
Untuk mengetahui mekanisme operasional
basyarnas
7.
Untuk mengetahui contoh perkara yang
dapat diselesaikan oleh basyarnas
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BASYARNAS
Arbitrase jika dilihat dari asal kata (bahasa latin
adalah arbitrase dan dalam bahasa Belanda adalah arbitrage) yang berarti suatu kesatuan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan. Artinya penyelesaiaan sengketa yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para
pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh arbiter yang
mereka pilih/tunjuk.
Dalam perspektif islam, arbitrase dapat disepadankan
dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti
menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.[1]
Menurut Abdulkadir Muhammad, arbitrase adalah badan
peradilan swasta di luar lingkungan peraadilan umum yang dikenal khusus dalam
dunia perusahaan. arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan
sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
BASYARNAS merupakan kepanjangan dari “BADAN
ARBITRASE SYARIAH NASIONAL”. Jadi yang dimaksud dengan Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) adalah suatu lembaga arbitrase nasional satu-satunya yang
menetapkan hukum Islam (Syari’ah) yang berlaku terahadap penyelesaiaan seluruh
sengketa muamalah yang terjadi dikalangan masyarakat. Arbitrase adalah cara
penyelesaiaan sengketa perdata di luar pengadilan yang berdasarkan perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.
Dalam Undang-Undang No.30/1999,tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 1 ayat (1) Bahwa Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.[2]
Menurut Satria Effendi M.Zein, arbitrase dalam
kajian fiqih adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang
dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk
mengakhiri sengketa antara mereka dan dua belah pihak akan mentaati
penyelesaian oleh hakam atau para hakam yang mereka tunjuk itu.[3]
B.
SEJARAH BASYARNAS DI INDONESIA[4]
Di
dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perlembaga keuanganan belum
diatur mengenai Lembaga keuangan Syariah, akan tetapi dalam menghadapi
perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif,
dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan
yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk
perlembaga keuanganan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan beberapa
perjanjian Internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan
penyesuaian peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya
sektor perlembaga keuanganan, oleh karena itu dibuatlah undang-undang Republik
Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun
1992 tentang perlembaga keuanganan yang mengatur tentang perlembaga keuanganan
syariah.
Dengan
adanya undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan lembaga
keuangan-lembaga keuangan yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah lembaga
keuangan-lembaga keuangan baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya lembaga
keuangan-lembaga keuangan yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya
sengketa-sengketa antara lembaga keuangan syariah tersebut dengan nasabahnya
sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi
lembaga keuangan syariah, agar di dapat kepastian hukum mengenai setiap
akad-akad dalam perlembaga keuanganan syariah, dimana setiap akad itu
dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi “Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka
penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dengan
adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap lembaga
keuangan syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya
harus mencatumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi
antar perlembaga keuanganan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan
nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).
Peresmian
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 oktober
1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris
oleh Dewan Pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat
yang diwakili KH. Hasan Basri dan H.S Prodjokusumo, masing-masing sebagai ketua
umum dan sekretaris umum dewan pimpinan MUI. Sebagi saksi yang ikut
menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor,
SE (Dirut Lembaga keuangan Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di
ketuai oleh H. Hartono Mardjono, SH sampai beliau wafat tahun 2003.
Pada
tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat para pakar atau
praktisi hukum atau cendekiawan Muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi
guna bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam. Setelah beberapa
kali melekukan rapat, didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414
H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M.
Dalam
rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI
adalah lembaga hukam (Arbitase Syari’ah) satu-satunya di Indonesia dan
merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan
antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta
memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07
Oktobe2003, maka MUI dengan SK nya No.Kep -09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember
2003, menetapkan :
i.
Mengubah nama Badan Arbitrase Mu’amalat
Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
ii.
Mengubah bentuk badan BAMUI dari yayasan
menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
iii. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hukum, BASYARNAS bersifat
otonom dan independen.
Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari
arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Didirikannya oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan
tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan
dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, SH
Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen
sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak,
baik yang datang dari lingkungan lembaga keuangan syariah, asuransi syariah,
maupun pihak lain yang memerlukan. bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat
memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang
bersangkutan mempercayai cara bekerjanya dalam menyelesiakan sengketa.
Kehadiran
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam
Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan
umat untuk melaksanakan syriat islam, melainkan juga lebih dari itu adalah
menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan
keuangan di kalangan umat. karena itu, tujuan didirikannya BASYARNAS sebagai
badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa mauamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri
keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam. Sejarah berdirinya
BASYARNAS ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi
umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Lembaga
keuangan Muamalat Indonesia dan Lembaga keuangan Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.
Lahirnya
Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Maryam Darus Badrulzaman,
sangat tepat karena melalui badan arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis
yang operasionalnya mempergunakan hukum islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan
hukum Islam.
C.
KEWENANGAN BASYARNAS
Basyarnas
sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh MUI berfungsi menyelesaikan
kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Pendirian lembaga ini awalnya
dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Di
samping itu, badan ini dapat memberikan
suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binded
advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu
yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas
permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.[5]
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga
peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus
memerhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani
kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses
penyelesaian.
D.
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN BASYARNAS
Basyarnas
memiliki keunggulan-keunggulan diantaranya adalah sebagai berikut:[6]
a.
Memberikan kepercayaan kepada para pihak
karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab
b.
Para pihak menaruh kepercayaan yang
besar kepada arbiter karena ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya (expertise)
c.
Proses pengambilan putusannya cepat,
dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah
d.
Para pihak menyerahkan penyelesaian
persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya sehingga para pihak juga
secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas
kesepakatan mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan itu mengandung
janji dan setiap janji itu harus ditepati
e.
Di dalam proses arbitrase, pada
hakikatnya terkandung perdamaian dan musyawarah, sedangkan musyawarah dan
perdamaian merupakan keinginan murni setiap orang
Di
samping keunggulan-keunggulan di atas, dalam basyarnas juga terdapat beberapa
kelemahan. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru
berdiri, maka Basyarnas masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga
yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representatif,
administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak
yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan
mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern
yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang
putusan yang final and binding dalam
penyelesaian sengketa di arbitrase.[7]
Keterbatasan
jaringan kantor Basyarnas di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena
Basyarnas baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor Basyarnas
diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
E.
DASAR HUKUM BASYARNAS
1.
Al-Quran
a. Surat Al-Hujurat
ayat 9
Yang
artinya “Jika dua golongan orang yang beriman berperang (bersngketa), maka
damaikan keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali ke
ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikan keduanya
dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”
b. Surat An-Nisa
ayat 35
Yang
artinya “ Jika kamu khawatir terjadi sengketa di antara keduanya (suami
isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermasud mengadakan perbaikan
(perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Dengan
metode analogi/qiyas, maka bilamana tahim dalam sengketa suami-isteri
dibolehkan, sudah barang tentu dalam masalah lain yang menyangkut hak pribadi
diperbolehkan juga).
2.
As-Sunnah
HR. An-Nasa’i menceritakan dialog Rasulullah dengan
Abu Syureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Syureih : ”Kenapa kamu dipanggil
Abu Al Hakam?”
Abu Syureih menjawab : “Sesungguhnya kaumku apabila
bertengkar, mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya. Dan mereka
rela dengan keputusanku itu.”
Mendengar jawaban Abu Syureih itu, Rasulullah
berkata : “Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu”.
Demikian Rasulullah membenarkan bahkan memuji
perbuatan Abu Syureih, Sunnah yang demikian disebut dengan Sunnah Taqririyah.
3.
Ijma’
Banyak riwayat menunjukkan bahwa para ulama dan
sahabat Rasulullah sepakat (ijma’) membenarkan penyelesaian sengketa dengan
cara arbitrase. Misalnya diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli
seekor kuda. Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu
patah. Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu
menolak . Umar berkata : “Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk
menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda itu berkata : “ Aku
rela Abu Syureih untuk menjadi hakam”.
Maka dengan menyerahkan penyelesaian sengketa itu
kepada Abu Syureih. Abu Syureih (hakam) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar
harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih berkata kepada Umar
bin Khattab : “Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau
kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa
cacat”. Umar menerima baik putusan itu.
Pada riwayat lain umar bin Khattab bersengketa
dengan Ubay bin Ka’ab tentang sebidang tanah dan bersepakat untuk menunjuk Zaid
bin Tsabit sebagai hakam. Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir
bin Muth’im.
4.
Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999
adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradialan umum, sedangkan
lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud UU No.
30/1999.
5.
SK.
MUI
SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003
Tanggal 30 Syawal 1424H (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah
Nasional.
6.
FATWA
DSN-MUI
Semua Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan
ketentuan : “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah”.
F.
MEKANISME OPERASIONAL
BASYARNAS mempunyai
prosedur atau mekanisme operasional yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain
:
1.
Permohonan untuk mengadakn arbitrase,
2.
Penetapan Arbiter,
3.
Acara Pemeriksaan,
4.
Perdamaian,
5.
Pembuktian dan saksi atau ahli,
6.
Berakhirnya Pemeriksaan,
7.
Pengambilan Putusan,
8.
Perbaikan Putusan,
9.
Pembatalan Putusan,
10.
Pendaftaran Putusan,
11.
Pelaksanaan Putusan,
12.
Biaya Arbitrase.
G.
CONTOH PERKARA YANG DAPAT DISELESAIKAN OLEH BASYARNAS
Contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh
BASYARNAS seperti sengketa muamalat (perdata) yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lan-lain secara adil dan cepat. Bila
dicontohkan lebih spesifik, seperti perkara berikut :
Perkara kredit macet antara seorang nasabah dan
Lembaga keuangan. Akibat adanya kredit macet , maka nasabah menggugat Lembaga
keuangan, atau dapat sebaliknya, Lembaga keuangan yang menggugat nasabahnya.
Kemudian pihak yang menggugat mengajukan perkara tersebut ke BASYARNAS. Apabila
perkara tersebut dapat diterima oleh BASYARNAS, maka para pihak harus mengikuti
prosedur ataupun mekanisme yang telah ditentukan dan ditetapan oleh BASYARNAS.
Cara yang dilakukan BASYARNAS untuk menyelesaikan
perkara adalah sebagai berikut :
1.
Mediasi : Musyawarah untuk mufakat
2.
Sidang : Mengeluarkan keputusan
3.
Putusan : Mengeluarkan putusan pada
suatu perkara
Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS, tidak
hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat menyelesaikan
perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian masalahnya
diselesaikan dengan syariat/ajaran islam.
Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS,
tidak hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat
menyelesaikan perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian
masalahnya diselesaikan dengan syariat/ajaran Islam. Selain itu, terdapat
berbagai bentuk alternatif yang digunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan
sengketa yaitu dengan cara:[8]
1. Konsultasi
Menurut Black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya”.
Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata alternatif penyelesaiaan sengketa dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaiaan suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Menurut Black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya”.
Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata alternatif penyelesaiaan sengketa dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaiaan suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
2. Negoisasi
Negoisasi menurut Goodpaster adalah suatu paroses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Sedangkan menurutFisher dan Ury negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator).
Negoisasi menurut Goodpaster adalah suatu paroses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Sedangkan menurutFisher dan Ury negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator).
3. Mediasi
Menurut Black’s law Dictionary, mediasi adalah Swasta, proses penyelesaian sengketa informal di mana orang ketiga yang netral, mediator, membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan para pihak.
Menurut Black’s law Dictionary, mediasi adalah Swasta, proses penyelesaian sengketa informal di mana orang ketiga yang netral, mediator, membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan para pihak.
4. Konsilisasi
Menurut Black’s Law Dictionary, konsiliasi adalah penciptaan penyesuaiaan pendapat dan penyelesaiaan suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi”.
Menurut Black’s Law Dictionary, konsiliasi adalah penciptaan penyesuaiaan pendapat dan penyelesaiaan suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi”.
5. Pendapat
atau penilaiaan ahli
Dalam perumusan
pasal 52 Undang-undang no 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa para pihak dalam
suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga
Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Bagi orang-orang yang beriman, secara
konstitusional (baik historis maupun yuridis) dapat menjalankan keyakinan
agamanya baik dalam bentuk ibadah-ibadah mahdloh maupun dalam ibadah yang
bersifat ‘ammah (mu’amalah) dan bahkan sekaligus dapat menegakkan syari’ah
agamanya dalam praktek kehidupan bisnis sehari-hari.
2.
Hanya dengan system arbitraselah adanya
kesempatan secara yuridis bagi para pihak untuk dapat secara bebas dan leluasa
menentukan pilihan hukum, yakni dengan system hukum apa yang akan diberlakukan
sebagai landasan bagi bisnisnya dan juga untuk penyelesaian sengketanya;
3.
Dengan adanya perjanjian / klausa
arbitrase, maka secara absolut telah tertutup bagi Pengadilan Negeri /
Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutuskan perkaranya.
4.
Beberapa keuntungan atau kelebihan
penggunaan system arbitrase untuk penyelesaian sengketa keperdataan
(sengketa-sengketa mu’amalah) :
a.
Prosesnya cepat, paling lambat 6 bulan
b.
Putusan akhir dan mengikat
c.
Biaya murah
d.
Bersifat tertutup / dilakukan secara
rahasia dan tidak boleh di publikasikan
DAFTAR PUSTAKA
Profil dan Buku Panduan BASYARNAS 2010
Rosyadi,
A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam
Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung : Citra Aditya Bakti
Sula,
Syakir, Muhammad, Ir. 2004. Asuransi Syari’ah
(Life and General) Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta : Gema Insani
Press.
Undang-Undang No.30/1999
Sutedi,
Adrian. 2009. Perbankan Syariah : Tinjauan
dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Usman,
Rachmadi. 2002. Aspek-aspek Hukum
Perbankan Islam di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Barokah, Robby. Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari
http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html
Darmiati mutidi. Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id/darmutidi/2010/12/28/badan-arbitrase
syari%E2%80%99ah-nasional-basyarnas/ pada 28 November 2011 pukul
19:00
[1]
A. Rahmat Rosyadi. Arbitrase dalam
Perspektif Islam dan Hukum Positif. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002),
hal. 43
[2] Undang-Undang
No.30/1999
[3]Robby Barokah. Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari
http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html
[4] Profil dan Buku Panduan BASYARNAS 2010
[5] Rachmadi Usman. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di
Indonesia. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 105
[6] Adrian Sutedi. Perbankan Syariah :Tinjauan dan Beberapa
Segi Hukum. (Jakarta :Ghalia Indonesia, 2009), hal173-174
[7] Sula, Syakir,
Muhammad, Ir. Asuransi Syari’ah (Life and
General) Konsep dan Sistem Operasional. (Jakarta : Gema Insani Press, 2004)
[8] Darmiati mutidi. Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id/darmutidi/2010/12/28/badan-arbitrase-syari%E2%80%99ah-nasional-basyarnas/
pada 28 November 2011 pukul 19:00