Senin, 04 Oktober 2010

Filsafat

MENELUSURI KEBENARAN WAHYU MELALUI SAINS



            Suatu kenikmatan yang ada pada diri manusia adalah akal pikiran yang membuat ia berbeda dengan makhluk lain di muka bumi.      Dengan akal pikiran itulah manusia dapat mencapai kemajuan yang bertangga-tangga dan merubah wajah dunia.
            Meski demikian, akal tetaplah berada di posisi ke-dua sebagai sumber pengetahuan, karena masih ada sumber pengetahuan yang jauh lebih tinggi daripada akal yakni wahyu. Wahyu ini tidak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Hanya orang-orang dengan tingkat spiritual yang tinggilah yang dapat memilikinya, misalnya para nabi. Akan tetapi, dalam al-Qur’an (5:111) dinyatakan bahwa wahyu, dalam hal ini ilham, tidak hanya diberikan pada para nabi, tetapi juga pada orang-orang selain nabi.
            Filsafat modern telah menjadi penafsir sains dan menyusun hasil-hasil sains alam dan sosial ke dalam suatu pandangan dunia. Para penganjur sains dan filsafat berasumsi bahwa sains merupakan satu-satunya ilmu yang autentik. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan telah terlihat dalam filsafat ini. Metode-metodenya terutama adalah rasionalisme filosofis, rasionalisme sekuler, dan empirisme logis/filosofis. Mereka tidak percaya pada otoritas dan intuisi karena dianggap hanya dugaan belaka. Padahal perlu kita ketahui bahwa apabila hati lebih condong pada yang satu, dan menolak yang lain, maka ia telah masuk pada tahap kepastian, bukan dugaan. Karena kita sendiri telah mengetahui bahwa “Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (QS 10:36).
            Pengakuan kita terhadap wahyu sebagai satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir yang berkenaan dengan makhluk dan khaliq-nya telah memberikan landasan bagi suatu kerangka metafisika. Dalam kerangka inilah filsafat sains kita kembangkan sebagai sistem terpadu yang menerangkan realitas kebenaran dengan suatu cara yang tidak dapat dilakukan oleh metode-metode sekuler filsafat dan sains modern, yaitu rasionalisme filosofis dan empirisme logis.
            Kita telah mengetahui bahwa sumber dan metode ilmu adalah : indera, akal, intuisi, dan otoritas.
            Kita memahami intuisi sebagai intuisi terhadap suatu eksistensi. Berkenaan dengan intuisi pada tingkat-tingkat kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi pada orang yang dengan pencapaian intelektualnya, telah memahami hakikat keesaan Tuhan dan arti keesaan dalam suatu sistem metafisik terpadu.
            Mengenai laporan/otoritas yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu, ada dua macam, yaitu :
1.      Laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputus oleh sejumlah orang, dan tidak masuk akal jika mereka dianggap dengan sengaja bermaksud berbuat dusta bersama-sama;
2.      Laporan/pesan yang dibawa oleh rasul dan para nabi.
Otoritas jenis pertama dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Akan tetapi otoritas kedua yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, bersifat mutlak.
Bertentangan dengan pandangan ilmu dan filsafat modern dalam hal sumber dan metode ilmu, kita memandang bahwa otoritas dan intuisi, seperti halnya akal dan pengalaman, juga memiliki tingkat-tingkat. Terlepas dari otoritas orang berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi bagi kita, ummat muslim, adalah al-Qur’an dan Sunnah nabi, termasuk pribadi suci Rasul. Keduanya mewakili otoritas tidak hanya dalam pengertian menyampaikan kebenaran, tetapi juga membentuk kebenaran. Keduanya mewakili otoritas yang dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.
Kita setuju bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan. Dengan demikian, tidaklah benar jika firman Tuhan dipertentangkan dengan sains maupun filsafat, justru firman Tuhan adalah induk segala ilmu dan induk filsafat.
Ilmu/sains ataupun filsafat yang bertentangan dengan firman Tuhan adalah filsafat atau sains hasil pengolahan pikiran manusia belaka yang menyimpang dari garis logika yang tidak mendapat bimbingan Tuhan.
Pengetahuan/sains adalah sarana yang mengantar manusia ke pintu gerbang kebenaran. Tanpa pengetahuan, seseorang mudah terjeremab ke lembah kesesatan.
Demikian halnya dengan menelusuri kebenaran wahyu, perlu ditanggapi melalui sains/pengetahuan/ilmu. Kita dapat menggunakan akal yang bisa membentuk pengertian yang kemudian meningkat pada ilmu pengetahuan.
Tuhan telah menganugerahkan indera, akal, dan intuisi, serta wahyu (untuk orang-orang dengan tingkat spiritual yang tinggi) untuk digunakan. Keharusan penggunaan anugerah Tuhan adalah untuk mencapai kebenaran.
Untuk mengetahui kebenaran wahyu melalui sains, kita perlu tahu bahwa bentuk lain dari wahyu ilahi adalah alam tabi’i (yang analog dengan al-Qur’an). Alam tabi’i, sebagaimana digambarkan al-Qur’an, tersusun dari bentuk-bentuk perlambang, seperti kata-kata dalam sebuah buku. Perbedaannya adalah bahwa buku besar alam yang terbuka ini adalah sesuatu yang diciptakan. Ia menghadirkan dirinya dalam banyak bentuk yang beragam dengan mengambil bagian dalam eksistensi simbolik berdasarkan artikulasi terus menerus oleh kata kreatif Tuhan.
Demikian juga kajian atas alam, atas apa saja, atas setiap objek ilmu di dunia ciptaan. Jika ungkapan “sebagaimana adanya” dipahami sebagai hal yang dianggap merupakan realitas independen, secara esensial ataupun eksistensial--seolah-olah ia merupakan sesuatu yang berkhir pada dan menghidupi dirinya sendiri—maka kajian seperti itu kehilangan tujuan sesungguhnya, pencarian ilmu menjadi suatu penyimpangan dari kebenaran. Karenanya, ilmu seperti itu pasti dapat dipertanyakan keabsahannya. Karena, sesuatu itu hakikatnya adalah berbeda dari dirinya sendiri, dan sesuatu yang berbeda itulah maknanya. Dalam hubungannya dengan realitas, dan kebenaran, korespondensi, sebagaimana kita pahami, mengacu kepada tempat yang tepat, dan koherensi kepada sistem Qurani.
Kita memandang bahwa kebenaran juga merupakan sifat dasar dari hakikat sesuatu sejauh yang seuai dengan tuntutan kearifan dan keadilan.
Wahyu Ilahi memiliki dimensi yang luas yang pada saat diterimanya wahyu tersebut seseorang belum bisa memahami apa yang terkandung didalamnya atau mengandung janji hingga seluruh proses berjalan dan janji Ilahi tersebut menjadi kenyataan.
Kebenaran wahyu yang dapat dibuktikan dengan sains adalah dengan cara memperhatikan tanda-tanda dengan melihat alam semesta yang merupakan bukti adanya wahyu dari Tuhan, misalnya. Adanya langit dan bumi, adanya perbedaan bahasa dan warna kulit, serta bukti-bukti nyata lain yang bisa dibuktikan secara keilmuan/ilmiah kemudian menelusurinya hingga ditemukan kebenarannyap.
Dengan demikian dapat disimpulkan :
  1. Ada tingkatan-tingkatan pemahaman fenomena yang berbeda.
  2. Untuk memahami fenomena alam yang berbeda, ada prasyarat yang berbeda pula.
  3. Untuk bisa memahami alam lebih dalam dan menelusuri kebenaran wahyu melalui sains, para ilmuwan harus mencoba mendapatkan karakteristik yang terdiri dari : kecakapan ilmiah, intelek (analitis) yang lebih tinggi, dan iman dengan ketakwaan (agar tidak terjadi penyimpangan akal dan kesombongan).
-o0o-

Ref:
Ghulsyani, Mahdi. 1998. Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an. Bandung : Mizan
Naquib Al-Attas, Muhammad. 1996. Islam dan Filsafat Sains. Bandung : Mizan
Poerwantana, dkk. 1988. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Bandung : CV. Rosda
Ya’kub, Hamzah. 1984. Filsafat Ketuhanan. Bandung : PT. ALMAARIF. Cetakan II
http://agorsiloku.wordpress.com

-o0o-


Tugas Pengganti UTS Mata Kuliah Filsafat Ilmu ini diajukan oleh:
ATIKAH (C74209110)
Prodi : ESC
Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Ampel Surabaya
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar