Selasa, 06 Desember 2011


BASYARNAS
Untuk memenuhi mata kuliah
“Lembaga Keuangan Syariah Non Lembaga keuangan”

Dosen Pembimbing:
Sri Wigati

Oleh :
Fitri Virdiany                         (C04209051)
Viki Wihdatul Ummah           (C04209089)
             Atikah                      (C74209110)
 
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011



BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Kaum muslimin telah mengenal dan melaksanakan arbitrase (lembaga hakam) sebagai pranata sosial semenjak awal kehadiran Islam. Arbitrase syariah sebagai khazanah fiqhiyah kini diaktualisasikan dalam sebuah lembaga hakam yang bernama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Arbitrase syariah sangat penting perannya mengiringi perkembangan ekonomi syariah. Dalam kegiatan perekonomian syariah yang semakin meningkat dewasa ini, kemungkinan terjadi dispute – sengketa atau perselisihan juga semakin besar. Kesadaran beragama ummat Islam, semoga telah membawa ummat untuk melakukan segenap aktivitas hidup dan kehidupannya berdasarkan syariah. Kesadaran beragama ummat Islam, semoga telah berbuah : semua hubungan muamalat, hubungan perdata, hubungan dagang, transaksi bisnis di kalangan ummat dilaksanakan berdasarkan syariah. Kesadaran beragama ummat Islam- semoga telah berbuah : semua dispute (sengketa atau perselisihan) di kalangan ummat, tak terbatas pada hubungan lembaga keuangan dan lembaga keuangan lainnya dengan nasabah, melainkan semua sengketa dalam seluruh bidang kehidupan – diselesaikan berdasarkan syariah.

B.        RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian basyarnas?
2.      Bagaimana sejarah basyarnas di Indonesia?
3.      Apa saja kewenangan basyarnas?
4.      Apa saja keunggulan dan kelemahan basyarnas?
5.      Apa dasar hukum basyarnas?
6.      Bagaimana mekanisme operasional basyarnas?
7.      Apa contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh basyarnas?


C.        TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian basyarnas
2.      Untuk mengetahui sejarah basyarnas di Indonesia
3.      Untuk mengetahui kewenangan basyarnas
4.      Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan basyarnas
5.      Untuk mengetahui dasar hukum basyarnas
6.      Untuk mengetahui mekanisme operasional basyarnas
7.      Untuk mengetahui contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh basyarnas



 BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN BASYARNAS
Arbitrase jika dilihat dari asal kata (bahasa latin adalah arbitrase dan dalam bahasa Belanda adalah arbitrage) yang berarti suatu kesatuan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Artinya penyelesaiaan sengketa yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih/tunjuk.
Dalam perspektif islam, arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.[1]
Menurut Abdulkadir Muhammad, arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peraadilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
BASYARNAS merupakan kepanjangan dari “BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL”. Jadi yang dimaksud dengan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah suatu lembaga arbitrase nasional satu-satunya yang menetapkan hukum Islam (Syari’ah) yang berlaku terahadap penyelesaiaan seluruh sengketa muamalah yang terjadi dikalangan masyarakat. Arbitrase adalah cara penyelesaiaan sengketa perdata di luar pengadilan yang berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.
Dalam Undang-Undang No.30/1999,tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 1 ayat (1) Bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[2]
Menurut Satria Effendi M.Zein, arbitrase dalam kajian fiqih adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk mengakhiri sengketa antara mereka dan dua belah pihak akan mentaati penyelesaian oleh hakam atau para hakam yang mereka tunjuk itu.[3]

B.        SEJARAH BASYARNAS DI INDONESIA[4]
Di dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perlembaga keuanganan belum diatur mengenai Lembaga keuangan Syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perlembaga keuanganan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan beberapa perjanjian Internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perlembaga keuanganan, oleh karena itu dibuatlah undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perlembaga keuanganan yang mengatur tentang perlembaga keuanganan syariah.
Dengan adanya undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan lembaga keuangan-lembaga keuangan yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah lembaga keuangan-lembaga keuangan baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya lembaga keuangan-lembaga keuangan yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara lembaga keuangan syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar di dapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perlembaga keuanganan syariah, dimana setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap lembaga keuangan syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencatumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antar perlembaga keuanganan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh Dewan Pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili KH. Hasan Basri dan H.S Prodjokusumo, masing-masing sebagai ketua umum dan sekretaris umum dewan pimpinan MUI. Sebagi saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, SE (Dirut Lembaga keuangan Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di ketuai oleh H. Hartono Mardjono, SH sampai beliau wafat tahun 2003.
Pada tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat para pakar atau praktisi hukum atau cendekiawan Muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi guna bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam. Setelah beberapa kali melekukan rapat, didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M.
Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hukam (Arbitase Syari’ah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe2003, maka MUI dengan SK nya No.Kep -09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003, menetapkan :
i.     Mengubah nama Badan Arbitrase Mu’amalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
ii.   Mengubah bentuk badan BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
iii. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hukum, BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Didirikannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, SH Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari lingkungan lembaga keuangan syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukan. bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai cara bekerjanya dalam menyelesiakan sengketa.
Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syriat islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. karena itu, tujuan didirikannya BASYARNAS sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa mauamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam. Sejarah berdirinya BASYARNAS ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Lembaga keuangan Muamalat Indonesia dan Lembaga keuangan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Maryam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui badan arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.

C.        KEWENANGAN BASYARNAS
Basyarnas sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh MUI berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Di samping itu, badan ini dapat  memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binded advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.[5] Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memerhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

D.       KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN BASYARNAS
Basyarnas memiliki keunggulan-keunggulan diantaranya adalah sebagai berikut:[6]
a.    Memberikan kepercayaan kepada para pihak karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab
b.   Para pihak menaruh kepercayaan yang besar kepada arbiter karena ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya (expertise)
c.    Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah
d.   Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan)  yang dipercaya sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati
e.    Di dalam proses arbitrase, pada hakikatnya terkandung perdamaian dan musyawarah, sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan murni setiap orang
Di samping keunggulan-keunggulan di atas, dalam basyarnas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka Basyarnas masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representatif, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.[7]
Keterbatasan jaringan kantor Basyarnas di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena Basyarnas baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor Basyarnas diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.

E.        DASAR HUKUM BASYARNAS
1. Al-Quran
a. Surat Al-Hujurat ayat 9
Yang artinya “Jika dua golongan orang yang beriman berperang (bersngketa), maka damaikan keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali ke ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikan keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

b. Surat An-Nisa ayat 35
Yang artinya “ Jika kamu khawatir terjadi sengketa di antara keduanya (suami isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermasud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Dengan metode analogi/qiyas, maka bilamana tahim dalam sengketa suami-isteri dibolehkan, sudah barang tentu dalam masalah lain yang menyangkut hak pribadi diperbolehkan juga).


2. As-Sunnah
HR. An-Nasa’i menceritakan dialog Rasulullah dengan Abu Syureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Syureih : ”Kenapa kamu dipanggil Abu Al Hakam?”
Abu Syureih menjawab : “Sesungguhnya kaumku apabila bertengkar, mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya. Dan mereka rela dengan keputusanku itu.”
Mendengar jawaban Abu Syureih itu, Rasulullah berkata : “Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu”.
Demikian Rasulullah membenarkan bahkan memuji perbuatan Abu Syureih, Sunnah yang demikian disebut dengan Sunnah Taqririyah.

3. Ijma’
Banyak riwayat menunjukkan bahwa para ulama dan sahabat Rasulullah sepakat (ijma’) membenarkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Misalnya diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda. Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu patah. Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak . Umar berkata : “Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda itu berkata : “ Aku rela Abu Syureih untuk menjadi hakam”.
Maka dengan menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu Syureih. Abu Syureih (hakam) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih berkata kepada Umar bin Khattab : “Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat”. Umar menerima baik putusan itu.
Pada riwayat lain umar bin Khattab bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab tentang sebidang tanah dan bersepakat untuk menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai hakam. Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir bin Muth’im.

4. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradialan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud UU No. 30/1999.

5. SK. MUI
SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 Tanggal 30 Syawal 1424H (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional.

6. FATWA DSN-MUI
Semua Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

F.      MEKANISME OPERASIONAL
BASYARNAS mempunyai prosedur atau mekanisme operasional yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain :
1.            Permohonan untuk mengadakn arbitrase,
2.            Penetapan Arbiter,
3.            Acara Pemeriksaan,
4.            Perdamaian,
5.            Pembuktian dan saksi atau ahli,
6.            Berakhirnya Pemeriksaan,
7.            Pengambilan Putusan,
8.            Perbaikan Putusan,
9.            Pembatalan Putusan,
10.        Pendaftaran Putusan,
11.        Pelaksanaan Putusan,
12.        Biaya Arbitrase.

G.        CONTOH PERKARA YANG DAPAT DISELESAIKAN OLEH BASYARNAS
Contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh BASYARNAS seperti sengketa muamalat (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lan-lain secara adil dan cepat. Bila dicontohkan lebih spesifik, seperti perkara berikut :
Perkara kredit macet antara seorang nasabah dan Lembaga keuangan. Akibat adanya kredit macet , maka nasabah menggugat Lembaga keuangan, atau dapat sebaliknya, Lembaga keuangan yang menggugat nasabahnya. Kemudian pihak yang menggugat mengajukan perkara tersebut ke BASYARNAS. Apabila perkara tersebut dapat diterima oleh BASYARNAS, maka para pihak harus mengikuti prosedur ataupun mekanisme yang telah ditentukan dan ditetapan oleh BASYARNAS.
Cara yang dilakukan BASYARNAS untuk menyelesaikan perkara adalah sebagai berikut :
1.      Mediasi : Musyawarah untuk mufakat
2.      Sidang : Mengeluarkan keputusan
3.      Putusan : Mengeluarkan putusan pada suatu perkara
Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS, tidak hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat menyelesaikan perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian masalahnya diselesaikan dengan syariat/ajaran islam.
Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS, tidak hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat menyelesaikan perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian masalahnya diselesaikan dengan syariat/ajaran Islam. Selain itu, terdapat berbagai bentuk alternatif yang digunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yaitu dengan cara:[8]
1.      Konsultasi
Menurut Black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya”.
Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata alternatif penyelesaiaan sengketa dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaiaan suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa.

2.      Negoisasi
Negoisasi menurut Goodpaster adalah suatu paroses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Sedangkan menurutFisher dan Ury negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator).

3.      Mediasi
Menurut Black’s law Dictionary, mediasi adalah Swasta, proses penyelesaian sengketa informal di mana orang ketiga yang netral, mediator, membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan para pihak.

4.      Konsilisasi
Menurut Black’s Law Dictionary, konsiliasi adalah penciptaan penyesuaiaan pendapat dan penyelesaiaan suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi”.



5.      Pendapat atau penilaiaan ahli
Dalam perumusan pasal 52 Undang-undang no 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.


BAB III

KESIMPULAN

1.      Bagi orang-orang yang beriman, secara konstitusional (baik historis maupun yuridis) dapat menjalankan keyakinan agamanya baik dalam bentuk ibadah-ibadah mahdloh maupun dalam ibadah yang bersifat ‘ammah (mu’amalah) dan bahkan sekaligus dapat menegakkan syari’ah agamanya dalam praktek kehidupan bisnis sehari-hari.
2.      Hanya dengan system arbitraselah adanya kesempatan secara yuridis bagi para pihak untuk dapat secara bebas dan leluasa menentukan pilihan hukum, yakni dengan system hukum apa yang akan diberlakukan sebagai landasan bagi bisnisnya dan juga untuk penyelesaian sengketanya;
3.      Dengan adanya perjanjian / klausa arbitrase, maka secara absolut telah tertutup bagi Pengadilan Negeri / Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutuskan perkaranya.
4.      Beberapa keuntungan atau kelebihan penggunaan system arbitrase untuk penyelesaian sengketa keperdataan (sengketa-sengketa mu’amalah) :
a.       Prosesnya cepat, paling lambat 6 bulan
b.      Putusan akhir dan mengikat
c.       Biaya murah
d.      Bersifat tertutup / dilakukan secara rahasia dan tidak boleh di publikasikan




DAFTAR PUSTAKA



Profil dan Buku Panduan BASYARNAS 2010
Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung : Citra Aditya Bakti
Sula, Syakir, Muhammad, Ir. 2004. Asuransi Syari’ah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta : Gema Insani Press.
Undang-Undang No.30/1999
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah : Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Barokah, Robby. Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html
Darmiati mutidi.  Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id/darmutidi/2010/12/28/badan-arbitrase syari%E2%80%99ah-nasional-basyarnas/ pada 28 November 2011 pukul 19:00




[1] A. Rahmat Rosyadi. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 43
[2] Undang-Undang No.30/1999
[3]Robby Barokah. Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html
[4] Profil dan Buku Panduan BASYARNAS 2010
[5] Rachmadi Usman. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 105
[6] Adrian Sutedi. Perbankan Syariah :Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Jakarta :Ghalia Indonesia, 2009), hal173-174
[7] Sula, Syakir, Muhammad, Ir. Asuransi Syari’ah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional. (Jakarta : Gema Insani Press, 2004)
[8] Darmiati mutidi.  Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id/darmutidi/2010/12/28/badan-arbitrase-syari%E2%80%99ah-nasional-basyarnas/ pada 28 November 2011 pukul 19:00


R E S U M E
KONSEP PERILAKU KONSUMEN DALAM ISLAM
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam

 










                    Oleh :  Zunny Nur Rahmah (C34209020)
                    Atikah                        (C74209110)




KONSEP PERILAKU KONSUMEN DALAM ISLAM


  1. PERILAKU KONSUMEN
1.      Pengertian Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen merupakan tingkah laku konsumen, diamana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Objek kajiannya adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.

2.      Teori Perilaku Konsumen
Ada beberapa prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen, yaitu :
1.      Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan
2.      Konsumen mampu membaandingkan biaya dengan manfaat
3.      Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat
4.      Setiap barang dapat disubtitusi dengan barang lain
5.      Konsumen tunduk kepada hukum “berkurangnya tambahan kepuasan”

3.      Wujud-Wujud Konsumen
1.      Personal consumer : Konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk penggunaannya sendiri.
2.      Organizational consumer : Konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan organisasi tersebut.



Konsep Produksi
Pada umumnya konsumen lebih tertarik dengan produk2 yang harganya lebih murah. Dan objek marketing tersebut adalah murah, produksi yang efisien dan distribusi yang intensif.

Konsep Produk
Konsumen akan menggunakan atau membeli produk yang ditawarkan tersebut memiliki kualitas yang tinggi, performa yang terbaik  dan lengkap.

  1. PERILAKU KONSUMEN DALAM ISLAM
1.      Pengertian Perilaku Konsumen dalam Islam
Consumer behavior mempelajari bagaimana manusia memilih diantara berbaga pilihan yang dihadapimya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Teori perilaku konsumen dalam Islam dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional, yaitu menyangkut nilai dasar yang menjadi pondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Berbeda dengan konsumen konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki 2 sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagianya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.

PRILAKU KONSUMSI
(prefences and utility)
Jeremy Bentham dalam “introduction to the principles of morals and legislation” sebagai utility (nilai guna). Ada beberapa aksioma yang dikembangkan dalam menentukan pilihan-pilihan rasional individu, antara lain adalah :
Completeness (kelengkapan) : jika individu dihadapkan dua situasi A dan B maka ia akan senantiasa dapat menentukan secara pasti salah satu dari ketiga kemungkinan berikut ini:
• A lebih disukai dari pada B
• B lebih disukai dari pada A
• A dan B sama-sama disukai.
Dalam hal ini individu diasumsikan dapat mengambil keputusan secara konsekuen dan mengerti akibat dari keputusan tersebut, asumsi juga mengarah pada kemungkinan bahwa individu lebih menyukai salah satu dari A dan B.

Transitivity: jika seseorang berpendapat bahwa A lebih disukai dari pada B dan B lebih disukai dari C maka tentu ia akan mengatakan A harus disukai dari pada C. asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal.

Continuity: jika sesorang menganggap A lebih disukai dari pada B maka situasi yang cocok mendekati A harus juga lebih disukai dari pada B.

ASUMSI DAN AKSIOMA DALAM ISLAM
• Halal
• Haram
• Berkah

PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM
Dalam melakukan kegiatan konsumsi, umat Islam harus menerapkan prinsip-prinsip di bawah ini selain memperhatikan halal, haram dan berkahnya barang/jasa yang akan dikonsumsi. Prinsip=prinsip tersebut antara lain :
Prinsip keadilan:
Syarat ini mengandung arti ganda penting mengenai mencari rizki secara halal dan tidak melanggar hukum.
Firman Allah “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi….(Q.S,n Al-Baqoroh: 169)”
Rasulullah juga bersabda “1/3 adalah udara 1/3 makan dan 1/3 adalah minuman” (Al- Hadis)

Prinsip kebersihan:
Konsumsi harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor atau menjijikan sehingga merusak selera.
Rosullah mencontohkan untuk menjaga kebersihan sesuai dengan sabdanya “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (Tarmidzi, Mishkat).
Jabir meriwayatkan Abu Hamid membawa segelas susu dari Naqi. Rasulullah berkata kepadanya “Mengapa tidak kau tutup gelas itu? letakanlah sepotong kayu diatasnya” (Bukhori).
Bersumber dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda “ Sebelum tidur, matikan lampu, tutup pintu dan tutupilah makanan dan minuman”. Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan

Prinsip Kesederhanaan:
Konsumsi tidak boleh berlebih lebihan
firman Allah “Makan dan minumlah dan jangan engkau berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyikai orang-orang yang melampaui batas”.
firman Allah “Hai orang-orang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas…” (QS Al- Maidah: 87)
Arti penting dari ayat-ayat ini adalah menjaga keseimbangan dan kesederhanaan (hidup sesuai dengan kemampuan) dalam konsumsi

Prinsip Kemurahan hati:
Islam memerintahkan agar senantiasa memperhatikan saudara dan tetangga kita dengan senantiasa berbagi rasa bersama.

Prinsip moralitas:
Islam juga memperhatikan pembangunan moralitas sepritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan dengan printah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama Allah dan bersukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik zat maupun cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.

Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen dalam Islam
Syarat Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah mashlahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminology ekonomi konvensional. Mashlahah merupakan tujuan hukum syara’ paling utama.
Menurut Imam Shatibi, mashlahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Menurut Imam Shatibi, ada lima elemen dasar, yakni : kehidupan atau jiwa (an-nafs), property atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut mashlahah.
Adapun sifat-sifat mashlahah sebagai berikut :
1.      Mashlahah bersifat subjektif, yakni setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu mashlahah atau bukan bagi dirinya. Berbeda dengan konsep Utility, yang kriteria mashlahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat semua individu.
2.      Mashlahah orang per-seorang akan konsisten dengan masalah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan Optimal dimana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3.      Konsep mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik produksi, konsumsi, atau distribusi. Dengan demikian, seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan, yaitu :
a.       Bagaimana memilih di dalam mashlahah jenis pertama : berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan beberapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
b.      Berapa bagian pendapatan yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa maslahah jenis ke-dua.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep mashlahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa  yang memberikan kepuasan/utility mengandung mashlahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam.
Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Setidaknya terdapat 3 kebutuhan yaitu : kebutuhan primer, sekunder, dan pelengkap. Dan dalam pemenuhan kebutuhannya, haruslah sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas.






DAFTAR PUSTAKA

http://maxzhum.blogspot.com/2009/05/perilaku-konsumen-dalam-islam.html
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Solo : PT. Amanah Bunda Sejahtera