M A K A L A H
‘AARIYAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh
Muamalah 2
Oleh :
M. Ridwan (C04209087)
Atikah (C74209110)
Dosen Pengampu :
Dr. H. Abu Azam Al-Hadi, M. Ag.
Prodi : Ekonomi Syariah (D)
Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan
sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. ‘Aariyah
adalah suatu pekerjaan yang tergolong disunahkan oleh Islam (QS, 5:2).[1] Berbicara
mengenai pinjaman (‘Aariyah), maka perlu kita bahas mengenai
dasar hukum
‘Aariyah.
Apa sebenarnya ‘Aariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta
rukun dan syarat ‘Aariyah? Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana
pengembalian yang sesuai dengan syara’. Agar kita bisa menerapkan dalam
kehidupan nyata.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberi pengetahuan kepada pembaca umumnya dan kami khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘Aariyah dan hukumnya, sehingga kita dapat mengaplikasikanya dalam kegiatan kita sehari-hari.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberi pengetahuan kepada pembaca umumnya dan kami khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘Aariyah dan hukumnya, sehingga kita dapat mengaplikasikanya dalam kegiatan kita sehari-hari.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
- Apakah yang dimaksud dengan ‘Aariyah?
- Bagaimanakah dasar hukum ‘Aariyah?
- Bagaimanakah rukun dan syarat ‘Aariyah?
- Bagaimanakah hukum dan sifat ‘Aariyah?
- Apakah perbedaan ‘Aariyah dengan Qaradh?
- Bagaimanakah aplikasi ‘Aariyah dalam lembaga keuangan
syariah?
1.3 Tujuan
Penulisan
Dalam makalah ini, penyusun bertujuan agar pembaca dapat
mengetahui sega sesuatu yang berkaitan dengan ‘Aariyah.
1.4 Sistematika
Penulisan
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB
I Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Sistematika Pembahasan
BAB II Pembahasan
a.
Pengertian
b.
Dasar Hukum
c.
Rukun dan Syarat
d.
Hukum dan Sifat
e.
Perbedaan dengan Qaradh
f.
Aplikasi ‘Aariyah dalam Lembaga Keuangan Syariah
BAB III Penutup
a.
Kesimpulan
b.
Saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
‘Aariyah
‘Aariyah
menurut etimologi diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Aariyah berasal dari
kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling
menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.[2]
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, antara lain :
- Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah, ‘Aariyah adalah “Pemilikan atas
manfaat suatu benda tanpa pengganti”.[3]
- Menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘Aariyah adalah “Pembolehan untuk
mengambil manfaat tanpa mengganti”[4]
Secara operasional, ‘Aariyah
adalah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga
waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.[5]
Contohnya, si A meminjam buku untuk dibaca kepada si B.
2.2 Landasan
Hukum
‘Aariyah dianjurkan dalam Islam. Hal tersebut didasarkan
pada :
- Al-Qur’an
QS.
Al-Maidah:2, “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”.[6]
- As-Sunnah
Dalam
hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah
meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.[7]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dengan sanad yang jayyid dari Shafwan
Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari
Shafwan Ibn Umayyah pada waktu perang Hunain.
Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya, Muhmmad?” Nabi menjawab,
“Cuma meminjam dan aku bertanggung-jawab.”
Dan hukum ‘Aariyah menurut QS. Al-Maidah:2 adalah
Sunnah.[8]
2.3 Rukun
dan Syarat
- Rukun ‘Aariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘Aariyah hanyalah
Ijab dari yang meminjamkan barang , sedangkan Qabul bukan merupakan rukun
‘Aariyah.
Menurut Ulama Syafi’iyah, dalam ‘Aariyah disyaratkan adanya
lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab qabul dari peminjam dan yang meminjamkan
barang pada waktu transaksi, sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada
adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakkan bahwa rukun
‘Aariyah ada empat, yaitu :
1.
Mu’ir (peminjam)
2.
Musta’ir (yang meminjamkan)
3.
Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
4.
Shighat (sesuatu yang menujukkan kebolehan untuk
mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan)[9]
- Syarat
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘Aariyah sebagai berikut
:
1.
Mu’ir berakal sehat, ‘Aariyah tidak akan sah jika
dilakukan oleh orang gila dan anak kecil
yang tidak berakal.
2.
Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat
(cakap) bertindak atas nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat
memegang amanat. Oleh sebab itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak boleh
mengadakan akad ‘ariyah’[10]
3.
Pemegangan barang oleh peminjam
‘Aariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah
memegang barang adalah peminjam.[11]
4.
Harus ada serah terima dari musta’ir karena akad
‘Aariyah merupakan akad tabarru’, maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya
serah terima.
5.
Musta’ar harus milik sendiri. Bisa dimanfaatkan tanpa
harus merusak bentuk fisik yang ada.[12] Bukan
barang yang apabila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan minuman.[13]
Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ‘Aariyah diperbolehkan atas
barang-barang yang bisa dimanfaaatkan
tanpa harus merusak dzat atau barang yang digunakan seperti rumah, pakaian,
kendaraan, dan barang lain yang sejenis.[14]
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh.
Diharamkan meminjamkan Al-Qur’an atau yang berkaitan dengan Al-Qur’an kepada
orang kafir. Diharamkan juga meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang
ihram.[15]
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah
diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya.
Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal
dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu,
karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan
dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka
yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.[16]
2.4 Hukum
dan Sifat
2.4.1. Dasar Hukum Ariyah
Menurut urf, ariyah
diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah
meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut
Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada
pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat
menurut kebiasaan.
Al Kurkhi, ulama
Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah
kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
b. Secara Majaz
Ariyah secara majazi
adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan,
hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat
diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.
Dengan demikian, walaupun
termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin
dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki
kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
2.4.2 Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta'ar)
Jumhur ulama selain
Hanafiyah berpendapat bahwa musta'ar dapat mengambil manfaat barang sesuai
dengan izin mu'ir (orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki musta'ar bergantung pada jenis
pinjaman, apakah mu'ir meminjamkannya secara mutlak atau secara terikat
(muqayyad).
a. Ariyah mutlak
Ariyah mutlak yaitu,
pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan
persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja
atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.
b. Ariyah muqayyad
Ariyah muqayyad adalah
meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik
disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus
sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam memanfaatkannya.
1. Batasan penggunaan
ariyah oleh diri peminjam
2. Pembatasan waktu dan
tempat
3. Pembatassan ukuran
berat dan jenis
Dalam ‘Aariyah, hukumnya bisa menjadi wajib, misalnya
bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat dibutuhkan kepada
saudara seagamanya yang tidak membutuhkannya.
Diantara hukum-hukum ‘Aariyah adalah sebagai berikut :
1.
Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah. QS.
Al-Maidah:2, “Dan janganlah kalian tolong menolong pada perbuatan dosa dan
permusuhan (pelanggaran)”.
2.
Jika mu’ir mensyaratkan bahwa musta’ir berkewajiban
mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib
menggantinya, karena Rasul SAW bersabda, “Kaum muslimin itu berdasarkan
syarat-syarat mereka”. (HR.Abu Dawud dan Al-Hakim)
Sifat ‘Aariyah :
1. Musta’ir harus menanggung biaya pengangkutan barang
pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut
tidak bisa diangkut, kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi.
2.
Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang
dipinjamnya. Adapun meminjamkannya pada orang lain, maka tidak apa-apa jika
mu’ir mengizinkan.
3.
Musta’ir merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda : "Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya,
sehingga ia kembalikan barang itu". (HR. Ahmad)[17]
4.
Jika seseorang meminjam kebun untuk dibuat tembok, ia
tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga temboknya roboh. Begitu
juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta
pengembangan sawah tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen,
karena menibulkan madlarat kepada sesama muslim itu haram.
5.
Barangsiapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu,
ia disunnahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas
waktu peminjaman.[18]
2.5 Perbedaan
dengan Qaradh
Qardh secara
etimologis adalah potongan. Secara istilah bisa diterjemahkan sebagai pinjaman uang.
Sedangkan pinjaman barang dalam bahasa fikih biasanya disebut ’ariyah.[19]
Perbedaan lain antara ’Aariyah dengan Qardh adalah pada objeknya. Jika ’Aariyah
adalah antara barang yang dipinjam kemudian dikembalikan adalah barang yang harus
sama wujudnya. Sedangkan Qaradh, pengembalian barang pinjaman tidak harus
barang yang sama wujudnya, akan tetapi memiliki nilai yang sama. Misalnya dalam
hal peminjaman uang.
2.6 Aplikasi
‘Ariyah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Aplikasi ‘Aariyah dalam lembaga keuangan syariah
dinamakan ‘Aariyah atau I’aarah. Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan di atas
akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga.
Namun pada kenyataannya, meski bank tersebut berlabel syariah, namun bank masih
belum dapat melaksanakan ‘Aariyah secara murni syariah. Bank syariah masih
menggunakan sistem bunga namun menggunakan istilah yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
‘Aariyah adalah memberikan manfaat suatu barang kepada
orang lain agar diambil manfaatnya tanpa mengurangi kondisi fisik barang
tersebut.
Pada dasarnya, hokum ‘Aariyah adalah mubah, dan menurut
QS. Al-Ma’idah:2 adalah Sunnah, dan akan menjadi wajib apabila musta’ir
benar-benar membutuhkan ketika mu’ir sedang tidak membutuhkannya.
Syarat dan rukunnya antara lain : Mu’ir dan mustair
harus berakal, musta’ar adalah benda yang tidak akan berkurang kondisi fisiknya,
ijab dan Qabul.
Apabia terjadi sesuatu terhadap musta’ar ketika ia
berada di tangan musta’ir, maka tanggung jawab sepenuhnya atas barang tersebut
adalah kewajiban musta’ir.
Dalam lembaga keuangan syari’ah, ‘Aariyah belum bisa
berjalan secara murni, karena masih menggunakan sistem bunga namun dengan
istilah yang berbeda.
3.2 Saran
Sebagai ummat yang memegang prinsip syariah, maka
hendaklah kita berusaha untuk melaksanakan syariah tersebut ke dalam semua
aspek kehidupan. Terutama muamalah yang selama ini kegiatan yang ada masih saja
berkiblat pada ajaran-ajaran orang-orang sosialis.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, Ismail.
2009. Fiqh Muamalah. Surabaya : Vira Jaya Multi Press
Syafei, Rahmat.
2001. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia
http://alponti.multiply.com/journal/item/22
http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/ariyah.html
http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ariyah/
http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat%207%20ariyah.htm
[1] http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ariyah/
[3] http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/ariyah.html
[4] Op. Cit., Hlm.139-140
[6] Rahmat
Syafei, Op. Cit., Hlm. 140
[7] Ibid.
[8] Ismail
Nawawi, Op. Cit., Hlm. 103
[9] Syafei, Op. Cit., Hlm. 141
[10] http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html
[11] Ibid.
[12] Nawawi,
Op. Cit., Hlm. 104
[13] http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html
[14] Ibid.
[15] Syafei,
Op. Cit., Hlm. 142
[16] http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat%207%20ariyah.htm
[17] http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat%207%20ariyah.htm
[18] Nawawi,
Op. Cit., Hlm.105-106
[19] http://alponti.multiply.com/journal/item/22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar